Auki Tekege/fmaddmmselatan |
Disini
yang akan diangkat adalah sejarah hidup sosok Auki Tekege yang dengan
gigih telah membawah masuk agama Kristen di Paniai dengan damai. Auki
sebagai salah satu tokoh diantara sekian banyak tokoh yang telah membuka
pagar Allah yang dibuat secara bertahap di tanah Papua dengan dorongan
roh kudus. Tokoh-tokoh yang tercatat dalam sejarah pembukaan pagar Allah
di tanah Papua ialah Ottouw dan Geisller di Mansinam
Manokwari (Papua Utara) pada tahun 1855, Ardmanville d’cock di
Kokonao (Papua Selatan) pada tahun 1902, Auki Tekege (1932-1934)
dan seterusnya.
Pada zaman simbiotik, banyak orang dari timur
mengembara ke bagian barat pegunungan pusat. Salah satu marga yang
pindah dari sekitar danau Tage ke Mapia adalah marga Tekege. Adalah Obasso
Tekege, adik bungsu dari tiga bersaudara melarikan diri dari Tage (dimiya)
ke Mapia karena bagian daging burung yang diinginkannya tidak diberikan
oleh kedua kakaknya sehingga Obasso mengembara ke Tigi, pindah lagi ke
Idadagi masuk daerah Mapia, menetap di Maymapa dan tidak lama kemudian
pindah ke Modio. Keturunan Obasso sebagai berikut; Dodota, Menani,
Wateisa, Mootoo, Memaha, Beneika, Siwaika, Bidahai dan Bedoubainawi
(dikenal Auki).
Disebut Bedoubainawi
karena semasa muda, Bedoubainawi mempunyai hoby berburu burung (Bedo
= burung, ubai = cari, nawi = jalan). Sehingga ia sudah
mengoleksi berbagai jenis burung. Sebagian besar dari burung yang
dikoleksi adalah burung Cenderawasih. Bedoubainawi rupanya mempunyai
maksud tertentu dibalik kegiatan koleksi burung Cenderawasih. Ia sering
kali berjanji kepada masyarakatnya bahwa pada suatu saat ia akan
menghadirkan Ogai-pii (dunia modern). Menginjak usia dewasa,
Bedoubainawi mulai berburu keluar daerah Modio. Daerah yang sering
dilalui adalah daerah Isago-doko (diantara Mapia dengan Kokonao).
Di Isago ia berkenalan dengan seorang pemuda bernama Ikoko Nokuwo.
Sering mereka berdua berjualan hasil bumi kepada orang-orang Kamoro
(pantai selatan), dan diganti dengan kulit bia (mege = alat
pembayaran), sambil latihan bahasa Kamoro. Kepala suku Kamoro dengan
kepala perangnya sangat dikenal baik. Hari demi hari mereka dua mulai
belajar bahasa Kamoro dan akhirnya menjadi fasih.
Bedoubainawi sudah lupa
lagi dengan kampung kelahirannya di Modio. Namun pada suatu saat ia
kembali ke kampung Modio tanpa membawah sesuatu apapun. Kedatangannya
tidak disenangi masyarakat Modio yang ditinggalkan bertahun-tahun.
Orang-orang Modio bertanya kepada Bedoubainawi “dimana ogaipii
yang dari dulu kamu janji?“. Akhirnya masyarakat Modio memanggil
TAPEHAUGI yang artinya orang yang tidak beruntung. Pada waktu itu hampir
seluruh daerah Mapia terjadi perang. Perang itu terjadi antar
klan/marga dan kampung akibat pencurian, perzinahan yang berbuntut pada
pembunuhan yang sifatnya melanggar hukum Tota Mana. Sistem
sangsi hukum pun tidak berlaku, hanya nyawa ganti nyawa. Dengan kata
lain kebenaran-kebenaran itu semakin hilang.
Tapehaugi hampir setiap
hari berpikir, bagaimana caranya sehingga masyarakat bisa hidup aman,
damai dan rukun berdasarkan ajaran-ajaran Kabo mana dan Tota
mana. Pada suatu hari Tapehaugi memutuskan pergi mengunjungi
rekannya Ikoko Nokuwo di daerah Isago[1].
Awal tahun 1930 Tapehaugi bersama istrinya Kesaimaga Gobay mulai
berjalan menuju pantai selatan. Selama satu minggu mereka berjalan dari
Modio bermalam di Mokobike, Boubaga, Dikitinai hingga di kampung Bidau.
Dikampung Bidau ia bertemu Ikoko Nokuwo dan masyarakatnya bermarga
Gabou-Kahame. Dari Bidau mereka menuju Wagikunu. Esoknya mereka menuju
kampung Dowudi dan malam ketujuh mereka sampai di kampung Makaihawido.
Di kampung itu Tapehaugi menetap lama dan membuat rumah.
Tak lama kemudian
mereka pergi menjual hasil buminya ke Ugoubado (Pronggo) untuk
ditukarkan dengan hasil bumi dari pantai. Sampai di Ugoubado mereka
masuk dirumah kepala suku Kamoro. Pada malam hari Kepala Suku Kamoro
menceritakan tentang orang-orang barat yang sedang mewartakan Injil di
daerah Kokonao. Tapehaugi sangat tertarik dan ingin berjumpa dengan para
misionaris tersebut. Namun Kepala Suku Kamoro itu tidak menceritakan
dimana keberadaan para misionaris itu. Tapehaugi mengetahui maksud hati
Kepala Suku dan berjanji setelah tiga bulan Tapehaugi dan rombongannya
akan membawah hasil buruan dan makanan. Janji Tapehaugi diterima baik
oleh Kepala Suku Kamoro.
Tiga bulan kemudian Tapehaugi bersama rombongannya
membawah 40 ekor burung Cenderawasih (tune mepiha) yang sudah
dikeringkan sebelumnya, ditambah makanan dan tembakau. Orang Kamoro pun
sudah mempersiapkan kulit bia, 40 buah kampak batu (maumi) dan
hasil laut lain sesuai perjanjian. Setelah pertukaran barang selesai,
Kepala Suku Kamoro berjanji akan membawah para misionaris untuk
berkenalan dengan Maihora (panggilan orang Kamoro kepada
Tapehaugi). Dengan hati yang senang dan gembira Tapehaugi bersama
rombongannya kembali ke Wagikunu.
Pada suatu hari sementara Tapehaugi sedang membuat
kebun, tiba-tiba istrinya Kesaimaga memanggil: “Ke-ke..tobouga-gogo
wake, akogeima kedeke kamena keino owegaimi”. Artinya ‘’hai
orang Tobousa, jangan melamun, sahabat-sahabatmu sedang datang, mari
jemput mereka”. Tapehaugi pun bergegas menjemput mereka. Sesampai
dirumah ia berpapasan dengan orang-orang berkulit putih persis seperti
anak yang baru lahir (detamagawa). Kepala suku Kamoro berkata
kepada Auki: “Maihoga, inilah orang-orang yang mewartakan kabar
gembira”. Maka mereka saling berkenalan satu sama lain. Orang-orang
berkulit putih itu antara lain Pater Tillemans MSC dan dr Bijmler. Pada
kesempatan itu tepat bulan April 1932[2].
Tapehaugi menceritakan, “dibelakang gunung sana, orang seperti saya
banyak, saya minta supaya kabar Injil diwartakan kepada rakyat saya yang
berada dibalik gunung sana”, ungkap Tapehaugi berharap. Pater Tillemans
berjanji setelah tiga tahun dirinya akan datang menuju Modio – Mapia.
Selanjutnya Tapehaugi bersama istrinya kembali ke Modio.
Dalam perjalanan
pulang, Tapehaugi mendapat nama baru dari seorang Malaikat di kampung /
gunung Mokobike (Mouhago). Nama yang diberikan adalah AUKI –
artinya laki-laki yang hebat dalam nada keheranan. Sesampainya di
Modio, Auki menceritakan perjalanannya ke Kokonao termasuk nama yang
baru diberikan itu. Orang-orang yang turut mendengar cerita Auki antara
lain Minesaitawi Tatago, Metegaibi Kedeikoto, Dakeugi Makai dan teman
sedawar lain yang masih hidup pada masa itu.[3]
Pada tanggal 21
Desember 1935, P. Tillemans yang mengikuti Bijmler Ekspedisi menuju
Modio[4].
Setelah lima hari perjalanan, pada tanggal 26 Desember 1935 rombongan
P. Tillemans dan Tuan Bijmler tiba di Modio. Pada waktu itu Ikoko
Nokuwo memakai topi yang dibuat dengan rotan. Mereka disambut dengan
Tupi Wani (Kapauku Folkdance) dan dipotong dua ekor babi sebagai
pengucapan syukur atas kehadiran dua orang barat tersebut.
Selanjutnya Auki
memerintahkan kepada Minesaitawi Tatago dan Dakeugi Makai untuk
memanggil seluruh pimpinan masyarakat (Tonawi) yang ada diseluruh
pedalaman Paniai. Sepuluh hari kemudian, para Tonawi tersebut tiba
dengan rombongannya dengan membawa babi untuk pesta perdamaian [tapa
dei]. Mereka yang turut hadir pada waktu itu antara lain Zoalkiki
Zonggonao dan Kigimozakigi Zonggonau dari Migani, Gobay Pouga Gobay dari
Paniai, Itani Mote dan Timada Badi dari Tigi, Papa Goo dari Kamu,
Tomaigai Degei dari Degeuwo, Pisasainawi Magai dari Piyakebo, Dekeigai
Degei dari Putapa, Enagobi Gobai dari Pogiano, Tubasawi Tebay dari
Toubay, Mote Pouga Mote dari Adauwo dan Dakeugi Makai dari Pisaise, dll.[5]
Pada tanggal 7 Januari
1936, Pater Tillemans memimpin Misa Kudus dan membuka Injil diatas batu
didepan rumah Bapak Auki. Itulah misa pemberkatan pertama di kampung
Modio. Setelah misa kudus, dilanjutkan dengan doa perdamaian (tapa
dei) yang dipimpin oleh Auki. Dalam doa inti Auki meminta
Minesaitawi dan Dakeugi untuk membunuh dua ekor babi yang telah
dipersiapkan (Sabakina dan Bunakina). Ketika membunuh bunakina
(babi hitam) Minesaitawi berkata: Aki mogaitaitage Mee (bagi
yang akan berbuat zinah), aki oma nai tage Mee (bagi yang akan
mencuri), aki pogo goutage Mee (bagi yang akan membunuh), aki
Mee ewegaitage Mee (bagi yang akan menceritakan orang lain), aki
pusa mana bokouto Mee (bagi yang akan menipu) kou ekinama dani
kategaine. Artinya:saya samakan kamu yang akan melanggar ajaran Tota
Mana dengan babi yang saya bunuh agar tidak terulang lagi.” Selanjutnya
Dakehaugi membunuh babi putih yang sudah diikat di Pohon Otika. Setelah
itu Dakehaugi memotong pohon Otika dan mengeluarkan darah merah
pertanda persembahan diterima[6].
Setelah upacara
perdamaian selesai, rombongan Pater Tillemans kembali ke Kokenau dan
melaporkan perjalanan kepada Pimpinan Gereja di Langgur (Ambon) dan
Pemerintah Hinda Belanda bahwa dipedalaman Paniai ada manusia. Laporan
itu diketahui Assisten Residen Fakfak dan Bestuur Assisten di Kaimana
dan meminta Pilot Letnan Dua Laut Ir. F. Jan Wissel untuk menelusuri
daerah Pegunungan. Pada awal bulan Februari 1937 Pilot Wissel terbang
dari Utara (Serui = Geelvink) ke arah Selatan (Babo) menggunakan
pesawat Sikorsky milik perusahaan Nederlands Nieuw Guinea
Petroleum Maatschapij (NNGPM) dan menemukan tiga buah danau dan
perkampungan disekitar danau itu. Sejak saat itu danau Paniai, danau
Tage dan danau Tigi dikenal Wisselmerren (bahasa Belanda artinya
danau-danau Wisel). Selanjutnya pada bulan April 1938 P. H. Tillemans
MSC ikut Ekspedisi Van Eachoud menuju Enarotali untuk membuka pos-pos
pelayanan sekaligus menemui Tonawi-Tonawi yang sudah dikenal jauh
sebelumnya di Modio, 1936.
Berita adanya manusia di Pedalaman Paniai didengar
pula oleh Pendeta R. A. JAFFAR. Akhir tahun 1937 Pdt. R. A. Jaffar
mengajukan permohonan dan meminta ijin kepada Pemerintah Hindia Belanda
untuk membuka penginjilan di daerah pedalaman Paniai dan permohon
tersebut dikabulkan. Dari Makasar beliau berangkat menuju Bumi
Cenderawasih untuk melihat secara langsung keadaan penduduk disana.
Selanjutnya Pdt. R. A. Jaffar mengutus Pdt. Walter Post dan Pdt. Russel
Dabler untuk merintis daerah pedalaman Paniai. Sesampai di Uta mereka
berdua dijemput Yineyaikawi Edowai dan menuju daerah Paniai melalui
sungai Yawei. Begitu tiba mereka bermalam di rumah Itani Mote di Yaba
(Waghete).
Tahun-tahun
berikutnya berturut-turut didatangkan penginjil-penginjil muda seperti
Sam Pattipeiloi dari Ambon, Poltak Saragih asal Tapanuli dan Paja asal
Kalimantan Timur bersama 20 orang dari Kalimantan Timur meninggalkan
Makasar pada 5 Maret 1939. Mereka tiba di bumi Cenderawasih pada 20
April 1939. Berikut tahun 1941 datang pula beberapa lulusan SAM pada
route yang sama yaitu Ch. D. Paksoal, P. Pattipeiloi, C. Akhiary (Ambon
Sanger Talaut), Ajang Lajang, Salim dan Teringan asal Kalimantan Timur.
Dari kalangan gereja Katolik datang pula beberapa guru-guru muda
seperti Andreas Matorbongs ditempatkan di Enarotali, gr Meteray di
Kugapa dan Petrus Letsoin di Yaba.
Segera sesudah itu perang dunia kedua meletus dan
seluruh pelayanan misi dan zending diberhentikan. Beberapa misionaris
dan pemerintah Belanda diinternir oleh tentara Jepang. Salah satu surat
yang dilayangkan berbunyi: “Als de kontreleurs en de Pastoors zich
niet aan de Japanners overgeven, hebben nedaar voor reeds twee grote
kapmessen gereedliggen, een voor de pastoor en een voor mij”.
Artinya jika pemerintah dari Belanda dan Pater tidak menyerahkan
diri kepada pemerintah Jepang, mereka akan dipenggal kepalanya.
Orang-orang Jepang telah menyediakan dua buah pisau besar, satu untuk
penggal kepala para pastor, dan satu untuk saya (de Bruijn).
Mendengar informasi
ini, para misionaris dan Pemeritah Belanda segera disembunyikan oleh
orang-orang pedalaman di beberapa tempat seperti Komandoga, Siriwo dan
Pegaitakamai. Orang-orang yang disembunyikan di Pegaitakamai antara lain
Pater Tillemans, dr Rubiono dan DR. J.V. de Bruijn. Di gunung ini
dokter Rubiono yang mengikuti kedua orang barat itu menemukan seorang
bayi kecil (tuan tanah) dan disembunyikan dalam tas. Menurut
orang Mapia hingga saat ini, dokter Rubiono adalah Ir Soekarno, Presiden
Republik Indonesia pertama. Walaupun dalam dokumen-dokumen sejarah Suku
Mee dan daerah sekitarnya tidak pernah disebut nama Soekarno, kecuali
nama dr Rubiono dan Adang Rusdy, seorang operator Radio Belanda – dan
juga Ir Soekarno sebelum tahun 1945 belum pernah injak daerah pedalaman
Irian.
Tak
lama kemudian pada bulan Agustus dan September 1942 tentara Jepang masuk
ke daerah Paniai melalui Uta ke Oraya terus ke Enarotali. Cengkeraman
kekuasaan Jepang di Paniai menyebabkan HPB de Bruijn terpaksa mengungsi
ke Australia. Dalam pengungsian ini, ikut serta 26 pemuda Ekagi dan
Migani. Mereka adalah Markus Yeimo, Piter Kadepa, Bernadus Gobay, Petrus
Gobay, Kornelis Madai, Obeth Takimai, Erenius Mote, Yoakim Mote,
Dominggus Mote, Bernadus Mote, Markus Goo, Kosmos Ekee dan Animalo Adi.
Dari Merauke ada beberapa yang masuk polisi seperti Manatadi Gobay,
Kaimodi Yogi, Bintang Gobay, Paulus Madai dan Yoseph Yeimo. Sedangkan
yang lain masuk Batalyon Papua yang dibentuk tentara Sekutu untuk
memerangi sisa-sisa tentara Jepang. Sementara itu, de Bruijn membawah
tiga pemuda Ekagi ke Australia, masing-masing Karel Gobay, Zakeus Pakage
dan Ikoko Nokuwo. Sementara itu Pater H. Tillemans dan dr. Rubiono
bersama beberapa guru lainnya, berangkat dari Mapia menuju Enarotali
untuk menunggu pesawat menuju Merauke. Di Enarotali P Tillemans dan
rombongannya disembunyikan di gunung Bobaigo. Di gunung ini, dr Rubiono
menangkap burung Garuda (Imu = penjaga gunung, menurut orang
Mee).
Pada
tanggal 24 Mei 1943 P Tillemans MSC dan rombongannya berangkat dengan
pesawat terbang dari Enarotali ke Merauke. Dua hari setelah
keberangkatan mereka, daerah Paniai dan sekitarnya diduduki oleh tentara
Dai Nippon. Usai perang dunia kedua, misionaris dan zending kembali ke
daerah Paniai dengan membawah tenaga-tenaga guru, suster, Pater untuk
membangun daerah yang telah “dipagari Allah”. Dari Misi seperti Gerardus
Ohoiwutun dan Bartholomeus Welerebun di Enarotali.
A. USAHA TETAP UTUHNYA
“PAGAR ALLAH”
Kedatangan misi dan
zending telah membawa banyak perubahan-perubahan. Banyak pemuda-pemudi
dididik berpola asrama, ada pula yang dibawah keluar untuk studi di luar
daerah bahkan diluar negeri. Itu semua dilakukan agar pada suatu saat
mereka dapat membangun daerahnya sendiri berlandaskan budaya dan
ajarannya. Salah seorang putra Me yang benar-benar menyadari akan hal
itu adalah Zakheus Pakage. Ia pada saat pendudukan Jepang di bawah pergi
oleh Dr. J.V. de Bruijn ke Australia dan selanjutnya disekolahkan di
Sekolah Tinggi Teologia Ujung Pandang. Sepulangnya Zakheus membuat
sebuah Gerakan Kebudayaan yang dikenal dengan “EDAGE BAGE” atau
orang-orang dalam pagar.
Menurut DR. Jan Boellaars dalam MANUSIA IRIAN DULU,
SEKARANG DAN MASA DEPAN, nama EDAGE BAGE menimbulkan pikiran, bahwa
hanya didalam pagar orang bisa aman terhadap bencana dan tanpa susah
payah dapat menikmati kesuburan bumi. Serentak juga bergema didalam nama
itu kisah asal dari Alkitab tentang Taman Firdaus, sebuah kebun
berpagar, yang didalamnya manusia tidak mengenal penderitaan dan
kematian.
Namun
ada sekelompok orang yang tidak memahami benar Gerakan ini menyebut
kelompok ini adalah “Wege Bage” atau kelompok perusak. Inti pokok dari
ajaran ini adalah bahwa kearifan-kearifan dan kebenaran-kebenaran akan
Allah terdapat didalam alam, adat dan ajaran orang Mee perlu dijaga,
dilestarikan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Alkitab
dipandang sebagai penyempurna ajaran asli.
B. DAERAH MAPIA DILUPAKAN, AUKI MENJADI GURU AGAMA
PERTAMA
Lain di Mapia. Akibat
ditutupnya beberapa ‘dimi’ (bukit) oleh leluhur Mapia, maka
daerah Mapia dilupakan kurang lebih 20 tahun (1939-1952). Auki sebagai
tokoh Mapia berkali-kali meminta ditempatkan seorang Pater, namun belum
pernah dijawab oleh Pater H Tillemans sebagai Pimpinan Vikariat
Apostolik Paniai pada waktu itu. Sementara daerah Paniai dan Migani
banyak didatangkan guru-guru dari Kei dan Bruder Suster dari Belanda.
Namun Auki tidak buta terhadap firman Tuhan. Auki
dibantu rekan-rekannya antara lain Minesaitawi Tatago (kepala perang),
Anaigaibi Tekege (penghubung masyarakat), dan Bogapa sebagai pendukung
kekayaan Auki melaksanakan berbagai kegiatan untuk mewartakan Injil
didaerah Mapia. Cara Auki dan kawan-kawannya mengajarkan agama sangat
unik. Pada waktu itu Auki dan Minesaitawi pura-pura bertengkar dan “akawaina”
(gerakan menggoyangkan kaki pertanda penyelesaian suatu masalah),
dengan tujuan orang dapat berkumpul dimana kedua orang bertengkar.
Setelah orang semakin banyak, Auki sambil menunjukkan
sebuah gambar TUHAN YESUS yang diberikan oleh Pater Tillemans
mengatakan: “Kiko UgataMee sokaibo, okaina Mee, inii dani, dimihago,
peka, ebe okaina ewaa. Iso koma kado koma to dege, ekaki Yesus. Hamake
iniha peudo maidamake piha bokouda nihabokata.” (=Dia adalah Anak
Allah, punya hidung, punya mata dan akal budi. Hanya rambut dan kulit
dan berbeda. Ia mati di kayu salib karena dosa manusia)[7].
Karena itu AUKI disebut guru agama Kristen pertama didaerah Paniai.
Dalam keadaan demikian, dua orang pemuda dari Timepa
yakni Otto Wakei dan Amasimesai Petege mengikuti orang tuanya ke Yaba
(Wagethe). Di Yaba mereka nginap dirumah Itani Mote (Weakebo Mote).
Disana mereka menyaksikan bagaimana para Pater menyekolahkan anak-anak
dan perkembangan maju cepat. Akhirnya pada tahun 1948, Otto dan
Amakasimesai kembali ke Mapia dan meminta kepada para tua-tua adat di
seluruh Mapia untuk membuat upacara Deba Duwai, yang tujuannya adalah
membuka semua dimi-dimi yang sudah ditutupi (dipagari) oleh Allah.
Nyatanya, pada tahun 1949 Pater Tillemans mengunjungi daerah Mapia dan
berjanji akan memberikan seorang Pater.
C. PEMBANGUNAN
GEREJA PERTAMA DI MAPIA
Tak lama kemudian, tepatnya pada tanggal 22 Pebruari
1952, hadirlah seorang Pater muda bernama Engelbertus Smith (dikenal
Henk Smith). Kedatangannya disambut dengan tupi wani yang diselingi
Gaidai-Wainai ala Mapia (Kapauku Folkdance). Ia disambut seperti seorang
Raja. Pada kesempatan itu pater Smith diberi gelar MAPISABI (raja
Mapia).
Ketika Pater Smith di
Mapia, ia tidak tinggal diam. Banyak kegiatan gerejani yang
dilaksanakan, hal ini membuat umat Mapia mulai membangun dan menata
kehidupan mereka. Selain kegiatan gerejani, pater juga berperan sebagai
Tukang dan Mantri. Menjelang Natal tahun 1952, Smith memerintahkan untuk
segera mempersiapkan WODA-EKINA (kuskus dan Babi) serta BAI PUGO
(keladi dan batangnya). Pater Smith sendiri mempersiapkan dua ekor
babi. Tepat pada tanggal 26 Desember 1952 (setelah malam Natal) terjadi
pesta Natal yang paling Akbar diseluruh pelosok bumi Cenderawasih.
Berikut kutipan kronologis peristiwa Natal yang dipimpin P. Smith dan
didampingi langsung AUKI sebagaimana dimuat dalam IKTISAR KRONOLOGIS
SEDJARAH MASUKNYA GEREJA KATOLIK DI IRIAN BARAT[8]
:
“Tepat
pada tanggal 25 Desember 1952 Natal dirayakan seperti biasa
dimana-mana. Natal yang istimewa ialah di Modio, tempat tinggal Pater
Smith. Pada hari itu pastor Paroki membeli dua ekor babi. Penduduk
kampung sekitarnya, dan bahkan penduduk kampung dari jauh datang
berbondong-bondong ke Modio. Kira-kira ada dua ribu orang datang. Auki
raja Modio, merasa bangga. Pada hari menjelang Natal orang-orang
membawakan dua ekor babi. Rupa-rupanya mereka menjadikan pesta Natal
sebagai hari pesta besar-besaran = Yuwo. Sehingga sebelum Natal, mereka
telah datang berkumpul. Tiap malam mereka bernyanyi dan menari.
Pater Smith tidak pernah absen. Tiap malam ia ikut tupi wani atau
sering disebut “akamine uno” (malam salaman sambil memberikan hadiah).
Hal mana menambah kegembiraan orang Kapauku. Puncak perayaan ialah
tanggal 25 Desember 1952. Para guru membuat Altar, dipasang dibawah
kolong langit. Seluruh umat berjongkok mengelilingi altar. Kepala-kepala
kampung berteriak-teriak memberi instruksi kepada rakyatnya, bagaimana
mereka harus berlutut dan sebagainya. Setelah agak tenang Pastor Paroki
memberikan mereka pelajaran Agama dalam bahasa Mee. Habis pelajaran
agama misa dimulai. Para guru bersenjata lengkap dengan panah dan busur
berjalan ke kandang babi. Empat ekor babi dipanah mati, menyusul yang
lain. Selama babi dimasak, sering-sering timbul sorak dan teriak
(hu-waita). Pater Smith sambil mengisap cerutu besar, berkeliling
diantara umatnya dan beramah tama dengan mereka. Sementara itu daging
babi sudah dimasak. Sebelum mereka makan, Pastor Paroki membawakan doa
Bapak kami dan salam Maria. Habis makan mereka mulai tari-tari lagi.
Mereka bersumpah kepada para pastor akan setia kepada Tuhan seumur
hidup. Raja Modio, Auki, terus menerus berpidato. Hari Natal adalah hari
besar baginya. Pada kesempatan ini ia mengenakan pakaian kebesaran
baginya, artinya ia mengenakan Piyama Tua, yang dibelinya di Kokonao
ditukar dengan segemgam tembakau (Kapaki=rokok bhs.Mimika). Diatas
kepala ia memakai topi jerami (migaba), suatu hadiah dari bapak
KPS. Dan untuk mempertunjukan bahwa ia termasuk golongan Katolik
meskipun pada waktu itu ia belum dipermandikan, ia mengalunkan tasbeh
panjang pada lehernya. Pada waktu malam perayaan dilanjutkan. Pater
Smith tunjuk muka lagi. Seorang guru menyediakan kursi untuk Pater.
Pastor Paroki belum lama duduk, terus dikelilingi orang banyak. Dari
belakang ada tangan memeluknya. Pater memalingkan kepala dan melihat
seorang wanita tua, yang dengan tersenyum berkata “aki aniya naitai”
artinya kamu bapaku.”
Demikian pada Natal
pertama di Modio. Tuhan telah melahiran anak 2000 lantaran Pater Smith.
Pater Smith mengatakan saya sangat bangga dan terharu merayakan Natal
dengan masyarakat Mapia. Tak lama kemudian masyarakat bersama Pater
Smith membangun gereja bersama-sama. Dalam waktu yang tidak lama
berdirilah Gereja pertama dengan nama St Ambrosius Modio.
Selanjutnya pada
tanggal 02 April 1959 Pater Smith mengunjungi ibunya yang sakit di
Netherland sekaligus untuk cuti. Sebelum meninggal Pater Smith datang ke
Modio untuk merayakan Pesta Perak bersama umat Mapia. Kali ini, ia
disambut sangat meriah dan haru. Paterpun terharu melihat perkembangan
Modio-Mapia yang begitu cepat. Dengan suara terputus-putus, Pater Smith
dengan menggunaan bahasa khas Mapia mengatakan: “Ani Itonago ko, ana
nomo nuta wegatemega nako enakepaibeu tena doune mega. Hamake anadouko,
inoko ena kida tipai, inoko enakai dimi kohoka, ani bokapa koda,
UgataMee epa etitouta ko, AKI-ha ani dodo natogetako ekowapa kihoka
nadouno etitouta,” ungkap Pater sambil air mata berlinang. Artinya
“saya datang hari ini untuk melihat keladi dan petatas yang saya pernah
tanam, namun saya melihat ada yang sudah masak dan ada yang hampir
masak. Oleh karena itu setelah meninggal saya akan lapor kepada Tuhan
atas pekerjaanku ini.” Pater sebelum sampai di Negeri Belanda meninggal
di Jakarta. Selamat Jalan “Sang MAPIHABI”.
D. JASA SEORANG AUKI
Auki adalah manusia pra
Modern yang belum tahu apa itu Injil atau Alkitab apalagi perkembangan
dunia luar. Tetapi dengan gigih berjuang menghadirkan kabar suka cita di
daerah pedalaman melalui hubungan dagang yang sudah lama dijalin dengan
suku Kamoro. Dalam sejarah perkembangan bangsa barat ke wilayah
ekspansinya sering terjadi perang dengan bangsa pribumi. Namun pertemuan
awal antara Auki dengan para misionaris terjadi dengan damai dan saling
memandang satu sama lain sebagai ciptaan Tuhan. Oleh karena itu DR
JV de Bruijn menyebut Auki adalah orang yang bijak dan
berpengalaman, juga berprestasi dan berkemampuan. Auki juga sudah
melihat laut, Maikaida dan mengadakan kontak dengan orang Mimika dengan
tukar menukar rokok dengan garam, juga menguasai bahasa Mimika. (Auki
is echter een bereisd man, waaraan hij zijn prestige ontleent. Hij heft
de zee, maikaida, gezien. Hij ruilhandel drijft-tabak tegen zout de
Mimikataal).[9]
Auki dibabtis menjadi orang Katolik pada tanggal
19-07-1958 bersama rekan-rekannya dari Mapia oleh Vikaris Apostik dan
Uskup Tituler Mosynopolis Irian, Mgr. Dr. Staverman di Modio. Satu tahun
kemudian 1959 Auki meninggal dalam usia muda. Beliau dimakamkan di
Gokotikapau, yaitu sebuah gua yang sudah dipilih sebelumnya.
Pepatah mengatakan
“Gajah meninggalkan gading, manusia meninggalkan nama”. Pepatah ini
tidak berlaku bagi seorang Auki yang telah berjasa bagi orang pedalaman
dan pegunungan bumi Cenderawasih. Karena jasanya menawarkan misionaris
datang membuka mata hati pikiran orang gunung belum pernah dikenal luas.
Sekarang menjadi tanggung siapa? Apakah orang Paniai yang telah muncul
sebagai Auki-Auki kecil tinggal diam tanpa berterima kasih sedikitpun?
Lima puluh tahun pesta emas berdirinya Gereja Modio – Mapia dan 70 Tahun
masuknya Agama di daerah pedalaman Paniai adalah merupakan tonggak
sejarah yang perlu dihayati dan direnungkan bersama-sama. Agar
masyarakat Mapia khususnya dan orang Irian umumnya dapat membuka mata
melihat kehidupan baru kedepan, untuk membangun, menata dan mengangkat
sisa-sisa firdaus yang semakin hilang.
Sebelum Auki meninggal
hanya ada satu pesan yang ditinggalkan kepada anak-cucunya, kepada orang
Modio dan Mapia khususnya dan orang Irian umumnya.
AUKI bukan milik Tekege
paa
AUKI bukan milik
Tatago paa
AUKI
bukan milik orang Modio
AUKI bukan milik orang Mapia
AUKI bukan milik orang
Pedalaman
AUKI
bukan milik orang Melanesia
Tetapi …………….
AUKI adalah milik
setiap insan manusia
Yang mencintai dan mencari firdaus
AUKI adalah simbol
firdaus yang hilang
Yang mencari dan menemukan Kabo-Mana
Untuk kita
Auki pergi menawarkan
dan menerima agama Kristen di Mimika, bukan berarti mau meniadakan atau
mau menghilangkan ajaran agama asli, melainkan untuk menyempurnakan,
memperbaharui dengan ajaran Kristen, sebagaimana kata Yesus kepada para
muridnya: “Aku datang bukan untuk meniadakan atau menghilangkan hukum
Taurat atau kitab para Nabi. Aku datang bukan untuk menghilangkan,
melainkan untuk menggenapinya” (Matius 5:17). Tetapi Auki juga
mengalami hal yang sama seperti yang pernah dialami Yesus, bahwa “Seorang
nabi dihormati dimana-mana, kecuali di tempat asalnya sendiri dan di
rumahnya” (Matius 13:57, Lukas 6:27-36, Markus 6:1-6, Lukas
4:16-30). Semoga nama besar Auki dikenang didalam setiap insan yang
mencintai kedamaian.
Posting Komentar