Mimpi profesor Surya menggapai langit, telah menginjak harkat dan martabat
anak-anak Papua dan telah melukai perasaan masyarakat Papua pada umumnya.
Prestasi satu-dua orang siswa asal Papua dalam olimpiade matematika-fisika memang
dapat dibanggakan namun prestasi tersebut telah dijadikan "prestise" lembaga
untuk menaikan pamor Surya Institut dalam meyakinkan Pemda Papua sebagai
penyantun beasiwa Pendidikan.
Siswa yang mestinya sebagai subyek didik, telah dijadikan objek mengeruk
keuntungan sebesar-besarnya.
Kapitalisme pendidikan di Surya Institut, nampak dalam sistem managemen
yang tidak sesuai Clean and Good
Governmet, Responsibilty dan
Akuntability tapi justru telah menjadi kroni keluarga Surya, nepotisme dan
jejaring bisnis yang menggiurkan.
Masyarakat Indonesia telah mengenal sosok Prof. Surya sebagai orang yang
berperan memajukan dunia eksakta terutama dalam prestasi olimpiade matematika
dan fisika. Namun dalam perjalanan waktu, misi mulia yang mengangkat harkat dan
martabat anak-anak Indonesia justru semakin diwarnai orientasi bisnis yang
melumpuhkan misi mulia.
Ekspansi bisnis Surya Institut dengan menampung sebanyak murid dari
perwakilan 17 Kabupaten, Utusan Propinsi dan Lembaga serta Pribadi dari Propinsi Papua dan Papua Barat telah
menjadi ladang yang menggoda mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Promosi
tersebut telah menggiurkan Pemda Papua yang memiliki tekad yang kuat untuk
menyekolahkan anak-anak di luar Papua.
Niat
baik Pemda Papua dan kepercayaan masyarakat Papua telah dibelokan pada
pendidikan yang berorientasi bisnis. Setiap anak Papua yang masuk dalam
program
SIP (Surya Intensif Program) telah dijadikan mesin "ATM" yang setiap
bulan
mencetak uang, namun pemanfaatan keuangan tersebut tidak diarahkan pada
pengembangan
sarana pendidikan dan pelayanan bagi anak-anak Papua tapi diarahkan
untuk "Bisnis Yayasan Surya" dan proyek Surya University yang bangunanya
hanya
dikontrak.
Sangat disayangkan, siswa SD,SMP, SMU dari Papua dengan membayar lima belas juta perbulan tidak seimbang
dengan pelayanan akomodasi, makanan yang sering basih bahkan tidak layak
dikonsumsi.
Keberadaan Surya Institute dengan program SIP (Surya Intensif Program) dan
akan menjadi SAI (Sekolah Anak Indonesia) semakin kehilangan orientasinya
apalagi semakin kehilangan murid-murid Papua karena Pemda Papua seperti
Kabupaten Merauke telah mengambil langkah menarik semua murid asal Merauke
berjumlah 59 siswa (tahun 2013), dengan demikian mulai diikuti oleh Pemda Papua
lainya dengan menarik semua murid dan tidak melanjutkan program kerjasamanya.
Karena Program SIP Surya Institute sudah pada titik nadir "untrust".
Sejak tahun 2009,
Prof. Yohanes Surya bekerjasama dengan PEMDA daerah-daerah tertinggal
mengembangkan matematika GASING (Gampang Asyik dan menyenangkan), dimana
anak-anak daerah tertinggal itu dapat belajar matematika dengan mudah. Siswa
yang dianggap "bodoh" katanya mampu menguasai matematika kelas
1-6 SD dalam waktu hanya 6 bulan. Program ini sungguh jauh dari harapan.
Sebagai informasi,
Surya Institute melaksanakan Program Pengembangan Sumber Daya Manusia
Khususnya, Pembinaan dan Pendidikan Sains dan Matematika siswa Sekolah Dasar
dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) untuk mempersiapkan siswa mengikuti
Ujian Nasional dan Olimpiade.
Data Siswa Program SIP (Surya Intensif Program) pada September 2012:
SD,SMP,SMU Seluruh Papua
berjumlah 332 siswa dengan rincian sebagai berikut: Asmat (48 Siswa),
Kaimana (8), Keerom (15), Lany Jaya (3), LPMAK (1"9), Membrano Raya (5),
Jayawijaya (2), Mappi (15), Merauke (73), Mimika (9), Nduga (9), Pribadi (11),
Propinsi (48), Puncak (5), Sorsel (4), Tambrauw (20), Tolikara (20), Waropen
(2), Yahukimo (1), Yalimo (10).
Selain program SIP, ada juga program
pelatihan Guru Pandai Matematika yang terbukti tidak efektif, Siswa SMU yang
ikut program Matematika beberapa di antaranya terbukti tidak lulus tes masuk perguruan
tinggi, serta Program Kuliah STKIP yang hingga kini belum terakreditasi
statusnya dimana sebagian besar mahasiswa berasal dari perwakilan Papua.
Ada beberapa persoalan mendasar yang dihadapi Surya Institut.
Pertama, Pendidikan Kehilangan Orientasi
Cita-cita awal dengan merekrut siswa yang berbakat dalam jumlah terbatas
untuk program olimpiade matematika dan fisika dapat dikatakan menuai hasil,
namun ketika merekrut siswa dalam jumlah yang banyak, serta tidak mengikuti
proses rekrut yang baik, telah membuat program SIP Surya kehilangan arah. Di
satu pihak, mengejar target bidang eksakta dimana siswa dipacu siang-malam
belajar matematika dengan jadwal ketat, disiplin yang kaku, bahkan sampai ada
kasus kekerasan seperti yang dialami siswa SD IV an. Anton Were dari Merauke
dimana mulutnya diberi cobe pedas oleh oknum guru Olimpiade Matematika SD
sampai siswa tersebut menjadi trauma tidak ikut kelas olimpiade tetapi sekarang
ikut kelas reguler.
Sudah dapat dibayangkan bahwa anak-anak kecil yang ikut kelas Olimpiade
sering dipacu adrenalin mengejar "target" antara prestise dan promosi lembaga pendidikan untuk mengeruk
keuntungan dari prestasi murid. Sebenarnya untuk berprestasi dalam Olimpiade
Matematika banyak metode dan cara yang lebih manusiawi sebagaimana
sekolah lainnya dapat berprestasi. Sementara untuk kelas regular dalam jumlah
yang banyak sudah pasti tidak ditargetkan untuk ikut Olimpade tetapi mengikuti
kelas regular namun materi pelajaran tidak sesuai kurikulum Nasional.
Akibatnya untuk menghadapi ujian nasional Pemda Papua harus mengeluarkan
biaya transport memulangkan siswa ke daerah asalnya, kemudian ikut program
khsusus menghadapi ujian nasional. Kenyataanya siswa yang pernah ikut belajar
di Surya Institut mendapatkan nilai yang sama dengan siswa yang bersekolah di
Merauke bahkan ada yang dinyatakan tidak lulus. Program SIP di Surya Institute
tidak mendapatkan buku rapor apalagi ijasah. Jadi, andaikan siswa lulus program
SIP Surya Institute maka siswa tersebut tetap mendapat ijazah dari kampung
asalnya.
Kedua,
Kehidupan Asrama
Salah satu implikasi "mengakomodasi" jumlah murid yang banyak, yakni:
anak-anak semakin tak terkontrol, kurang disiplin, banyak anak yang sakit
(cacing, penyakit kulit), makanan kurang bergisi, kurang rapi berpakaian.
Selain itu, sarana penunjang dalam asrama: tempat dan peralatan rekreasi,
tempat ibadah belum tersedia. Lebih dari itu, pola pembinaan asrama belum
memiliki metode yang jelas bagi anak-anak Papua.
Orientasi pembinaan asrama tidak memiliki sistem dan pola pendekatan yang
sesuai karakter anak-anak Papua. Pembinaan iman sering tidak sesuai keyakinan
siswa namun dipaksakan kepada siswa untuk harus ikut doa dan ibadah. Hal ini
sering mendapat protes dari orangtua murid.
Anak Papua tercerabut dari akar budaya, akar iman, kasih sayang orangtua.
Para pembina tidak memiliki ketrampilan dan pemahaman mengenai karakter dan
budaya Papua mengakibatkan anak-anak kehilangan kendali, sering berperilaku
kasar, kaki telanjang, cara berpakaiandan situasi asrama sama seperti
kampung asalnya.
Ketiga,
Biaya Mahal Pelayanan Minim
Management Surya Institut tidak transparan dalam penetapan biaya per
item program serta tidak akuntabel dalam pelaporan keuangan. Beberapa Pemda di
Papua mengalami kesulitan mendapatkan laporan keuangan dari pihak management
Surya Institute.
Dan karena itu, telah disoroti oleh BPK Propinsi Papua mengenai besarnya
biaya pendidikan di Surya Institute.
Indikasi penyimpangan nyata dalam tagihan flate setiap bulan serta
ketidaksesuaian antara besaran biaya dan pelayanan.Untuk Program SIP,
Perhitungannya: Setiap bulan siswa wajib membayar RP. 15.000.000. Dalam setahun
: 12 X 15.000.000 = Rp. 180.000.000 dengan jumlah 332 siswa = Rp.
59.760.000.000. Bagaimana dengan perhitungan sejak dimulainya program 2010
hingga pertengahan 2013?
Bagaimana dengan biaya program lainnya seperti Pelatihan Guru Papua,
Matrikulasi anak SMU, STKIP dan program lainnya? Dengan jumlah keuangan tersebut
maka sudah dapat membangun sekolah unggulan di beberapa wilayah Papua.
Beberapa item biaya yang kami soroti antara lain:
(1) Akomodasi: Setiap Kamar
dengan ukuran kecil memiliki 4 tempat tidur. Setiap anak membayar Rp3.000.000
perbulan. Berarti setiap kamar dalam sebulan Rp12.000.000. Jadi dalam setahun
biaya kamar dengan ukuran kecil Rp144.000.000. Biaya tersebut sudah bisa
membiayai sewa rumah/kontrak sejumlah 2-3 unit rumah/pertahun. Bahkan jika
membanding sewa kost di Ruko sekitar Surya Inst. Kisaran harga Rp1.000.000
1.500.000 perbulan. Sarana rekreasi dan kegiatan lainnya belum tersedia,
kecuali tempat olah raga di lapangan terbuka.
(2) Konsumsi: Rp. 3.000.000
/bulan/anak tidak sebanding dengan biaya makan minum mahasiswa STKIP Rp. 1.500.000/bulan/anak.
Mahasiswa STKIP dan siswa program SIP makanan dari katering yang sama dan
sering ada keluhan makanan kedaluarsa, bahkan sewaktu libur (natal) makanan
tidak diatur akibatnya anak-anak kelaparan.
(3) Transportasi: Setiap bulan
dikenakan biaya Rp. 600.000/peranak. Realitanya anak-anak SD yang relatif
banyak hanya jalan kaki 100 meter, kecuali SMP/SMU yang relatif
menggunakan dengan jarak dekat.
Kebutuhan harian siswa Rp. 400.000/peranak/bulan (bukan
uang saku terima langsung) diserahkan secara acak ke siswa (belum ada laporan
realisasi ke siswa), informasi yang diperoleh siswa setiap bulan menerima Rp.
120.000,- sementara anak-anak sering terlihat tidak menggunakan sendal, pakaian
tidak rapi, dsb.
(4) Honor Pengajar Rp. 3.000.000,-
dan Pendamping Rp. 1.750.000 dibebankan kepada setiap siswa perbulan.
(5) Eksperimen dan
pembinaan lomba: Rp. 650.000,- Tidak semua murid diikutsertakan dalam
pembinaan lomba (olimpiade), dari 73 Siswa hanya 4 siswa yang ikut dalam
pembinaan lomba (olimpiade). Jadi tidak masuk akal membuat perhitungan
keseluruhan anak. Untuk lomba olimpiade, ada kekecewaan tersendiri yang dialami
oleh Pemda Merauke dimana ke 2 anak yang mestinya ada peluang ke Korea tapi
pihak sekolah kurang antisipatif dan kurang respons.
(6) Kesehatan siswa: Sejak tahun
2011-2012 Surya institut memberikan beban biaya Rp. 400.000,- /anak/bulan.
Dalam realisasinya tidak setiap anak sakit apalagi sakit bersamaan setiap
bulan. Itu berarti setiap anak menginvestasi dana kesehatan. Sebagai catatan
bahwa: anak dari Mereauke jika sakit (berat) akan dirujuk ke RS Cikini dan
menjadi biaya Pemda Merauke.
Item biaya lain, belum dapat dipastikan penggunaannya. Yang jelas, jika
Dinas Pendidikan dan Pengajaran kabupaten tidak mengkritisi pelaporan keuangan
management Surya Institute maka tidak akan diketahui kemana uang tersebut
dipakai. Pada intinya management Surya Institut belum dapat menerapkan tata
lembaga pendidikan yang baik dan bersih, serta tidak dapat bertanggungjawap dan
mempertanggungjawabkan serta belum dapat membangun kepercayaan bagi masyarakat
Papua.
Menanggapi persoalan tersebut di atas, beberapa Pemda Papua mulai melakukan tindakan
penyelamatan anak-anak Papua serta menyelamatkan uang rakyat Papua dengan
mengambil langkah:
Pertama, menarik atau
memindahkan seluruh murid-murid (SIP) ke sekolah lainnya sebelum memasuki tahun
ajaran baru.
Kedua, merasionalisasi
pembayaran dengan membuat perhitungan kembali antara biaya keluaran dan
pelayanan yang tidak sesuai dengan Perjanjian Kerjasama. Contoh kasus: Pada
tahun 2011 Pemda Merauke telah melakukan pembayaran lebih untuk program
Matrikulasi SMA, mustinya yang direkrut adalah siswa kelas 2 untuk program 2
tahun, realitanya yang direkrut kelas 3 yang programnya hanya beberapa bulan.
Pemda Merauke telah melakukan pembayaran lebih 1.800.000.000,- Pembayaran lebih
tersebut tidak dilaporkan oleh pihak manajemen Surya Institut. Hal ini menjadi
temuan untuk dipertanggungjawabkan.
Ketiga, mengabaikan atau
menundah pembayaran sebelum adanya laporan keuangan dari Management Surya
Institute hal ini sesuai dengan tuntutan BPK Propinsi Papua agar tanda bukti
transaksi pembayaran dan realisasinya harus dipertanggungjawabkan.
Keempat, membatalkan dan menghentikan
program lanjutan, meski Perjanjian Kerjasama belum berakhir. Jika perlu
mengambil langkah hukum agar permasalahan menjadi jelas.
Kelima, mempertanyakan dan
menuntut kepada Surya Institut program yang tidak terlaksana seperti yang
dialami kabupaten Lani Jaya.
Keenam, BPK Propinsi Papua
dan Papua Barat segera mengambil langkah untuk melakukan pemeriksaan keuangan
di Surya Institute menyangkut uang rakyat Papua.
Ketujuh, Pemda Papua dan
Papua Barat mengambil langkah mendirikan sekolah unggulan berpola atau Pendidikan
Sekolah berbasis asrama di beberapa wilayah strategis. Adalah lebih baik
membangun sekolah unggulan yang menjawab kebutuhan di Tanah Papua.
Jus Felix Mewengkang adalah Pemerhati Pendidikan Papua, tinggal di Papua.
Posting Komentar