Ass.wr.wbr Salam ! | Members area : Register | Sign in
About Me | Contact Us | Sitemap | Pasang Iklan
BERITA TERBARU:
SELAMAT DATANG DI BLOG FORUM MASYARAKAT ADAT DUMA DAMA JEWA BOMA [Moni-Mee Selatatan]
Home » » Eksploitasi Pendidikan Anak Papua di Surya Institut

Eksploitasi Pendidikan Anak Papua di Surya Institut

Written By Unknown on Minggu, 17 November 2013 | 22.43

Mimpi profesor Surya menggapai langit, telah menginjak harkat dan martabat anak-anak Papua dan telah melukai perasaan masyarakat Papua pada umumnya. Prestasi satu-dua orang siswa asal Papua dalam olimpiade matematika-fisika memang dapat dibanggakan namun prestasi tersebut telah dijadikan "prestise"  lembaga untuk menaikan pamor Surya Institut dalam meyakinkan Pemda Papua sebagai penyantun  beasiwa Pendidikan.
Siswa yang mestinya sebagai subyek didik, telah dijadikan objek mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Kapitalisme pendidikan di Surya Institut, nampak dalam sistem managemen yang tidak sesuai Clean and Good Governmet, Responsibilty dan Akuntability tapi justru telah menjadi kroni keluarga Surya, nepotisme dan jejaring bisnis yang menggiurkan.
Masyarakat Indonesia telah mengenal sosok Prof. Surya sebagai orang yang berperan memajukan dunia eksakta terutama dalam prestasi olimpiade matematika dan fisika. Namun dalam perjalanan waktu, misi mulia yang mengangkat harkat dan martabat anak-anak Indonesia justru semakin diwarnai orientasi bisnis yang melumpuhkan misi mulia.
Ekspansi bisnis Surya Institut dengan menampung sebanyak murid dari perwakilan 17 Kabupaten, Utusan Propinsi dan Lembaga serta Pribadi dari Propinsi Papua dan Papua Barat telah menjadi ladang yang menggoda mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Promosi tersebut telah menggiurkan Pemda Papua yang memiliki tekad yang kuat untuk menyekolahkan anak-anak di luar Papua. 
Niat baik Pemda Papua dan kepercayaan masyarakat Papua telah dibelokan pada pendidikan yang berorientasi bisnis. Setiap anak Papua yang masuk dalam program SIP (Surya Intensif Program) telah dijadikan mesin "ATM" yang setiap bulan mencetak uang, namun pemanfaatan keuangan tersebut tidak diarahkan pada pengembangan sarana pendidikan dan pelayanan bagi anak-anak Papua tapi diarahkan untuk "Bisnis Yayasan Surya" dan proyek Surya University yang bangunanya hanya dikontrak.
Sangat disayangkan, siswa SD,SMP, SMU dari Papua dengan membayar lima belas juta perbulan tidak seimbang dengan pelayanan akomodasi, makanan yang sering basih bahkan tidak layak dikonsumsi. Keberadaan Surya Institute dengan program SIP (Surya Intensif Program) dan akan menjadi SAI (Sekolah Anak Indonesia) semakin kehilangan orientasinya apalagi semakin kehilangan murid-murid Papua karena Pemda Papua seperti Kabupaten Merauke telah mengambil langkah menarik semua murid asal Merauke berjumlah 59 siswa (tahun 2013), dengan demikian mulai diikuti oleh Pemda Papua lainya dengan menarik semua murid dan tidak melanjutkan program kerjasamanya. Karena Program SIP Surya Institute sudah pada titik nadir "untrust".
Sejak tahun 2009, Prof. Yohanes Surya bekerjasama dengan PEMDA daerah-daerah tertinggal mengembangkan matematika GASING (Gampang Asyik dan menyenangkan), dimana anak-anak daerah tertinggal itu dapat belajar matematika dengan mudah. Siswa yang dianggap "bodoh" katanya mampu menguasai matematika kelas 1-6 SD dalam waktu hanya 6 bulan. Program ini sungguh jauh dari harapan.
Sebagai informasi, Surya Institute melaksanakan Program Pengembangan Sumber Daya Manusia Khususnya, Pembinaan dan Pendidikan Sains dan Matematika siswa Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) untuk mempersiapkan siswa mengikuti Ujian Nasional dan Olimpiade.
Data Siswa Program SIP (Surya Intensif Program) pada September 2012: SD,SMP,SMU Seluruh Papua berjumlah 332 siswa dengan rincian sebagai berikut: Asmat (48 Siswa), Kaimana (8), Keerom (15), Lany Jaya (3), LPMAK (1"9), Membrano Raya (5), Jayawijaya (2), Mappi (15), Merauke (73), Mimika (9), Nduga (9), Pribadi (11), Propinsi (48), Puncak (5), Sorsel (4), Tambrauw (20), Tolikara (20), Waropen (2), Yahukimo (1), Yalimo (10).
Selain program SIP, ada juga program pelatihan Guru Pandai Matematika yang terbukti tidak efektif, Siswa SMU yang ikut program Matematika beberapa di antaranya terbukti tidak lulus tes masuk perguruan tinggi, serta  Program Kuliah STKIP yang hingga kini belum terakreditasi statusnya dimana sebagian besar mahasiswa berasal dari perwakilan Papua.
Ada beberapa persoalan mendasar yang dihadapi Surya Institut.
Pertama, Pendidikan Kehilangan Orientasi
Cita-cita awal dengan merekrut siswa yang berbakat dalam jumlah terbatas untuk program olimpiade matematika dan fisika dapat dikatakan menuai hasil, namun ketika merekrut siswa dalam jumlah yang banyak, serta tidak mengikuti proses rekrut yang baik, telah membuat program SIP Surya kehilangan arah. Di satu pihak, mengejar target bidang eksakta dimana siswa dipacu siang-malam belajar matematika dengan jadwal ketat, disiplin yang kaku, bahkan sampai ada kasus kekerasan seperti yang dialami siswa SD IV an. Anton Were dari Merauke dimana mulutnya diberi cobe pedas oleh oknum guru Olimpiade Matematika SD sampai siswa tersebut menjadi trauma tidak ikut kelas olimpiade tetapi sekarang ikut kelas reguler.
Sudah dapat dibayangkan bahwa anak-anak kecil yang ikut kelas Olimpiade sering dipacu adrenalin mengejar "target" antara prestise dan promosi lembaga pendidikan untuk mengeruk keuntungan dari prestasi murid. Sebenarnya untuk berprestasi dalam Olimpiade Matematika banyak  metode dan cara yang lebih  manusiawi sebagaimana sekolah lainnya dapat berprestasi. Sementara untuk kelas regular dalam jumlah yang banyak sudah pasti tidak ditargetkan untuk ikut Olimpade tetapi mengikuti kelas regular namun materi pelajaran tidak sesuai kurikulum Nasional.
Akibatnya untuk menghadapi ujian nasional Pemda Papua harus mengeluarkan biaya transport memulangkan siswa ke daerah asalnya, kemudian ikut program khsusus menghadapi ujian nasional. Kenyataanya siswa yang pernah ikut belajar di Surya Institut mendapatkan nilai yang sama dengan siswa yang bersekolah di Merauke bahkan ada yang dinyatakan tidak lulus. Program SIP di Surya Institute tidak mendapatkan buku rapor apalagi ijasah. Jadi, andaikan siswa lulus program SIP Surya Institute maka siswa tersebut tetap mendapat ijazah dari kampung asalnya.
Kedua, Kehidupan Asrama
Salah satu implikasi "mengakomodasi" jumlah murid yang banyak, yakni: anak-anak semakin tak terkontrol, kurang disiplin, banyak anak yang sakit (cacing, penyakit kulit), makanan kurang bergisi, kurang rapi berpakaian. Selain itu, sarana penunjang dalam asrama: tempat dan peralatan rekreasi, tempat  ibadah belum tersedia. Lebih dari itu, pola pembinaan asrama belum memiliki  metode yang jelas bagi anak-anak Papua.
Orientasi pembinaan asrama tidak memiliki sistem dan pola pendekatan yang sesuai karakter anak-anak Papua. Pembinaan iman sering tidak sesuai keyakinan siswa namun dipaksakan kepada siswa untuk harus ikut doa dan ibadah. Hal ini sering mendapat protes dari orangtua murid.
Anak Papua tercerabut dari akar budaya, akar iman, kasih sayang orangtua. Para pembina tidak memiliki ketrampilan dan pemahaman mengenai karakter dan budaya Papua mengakibatkan anak-anak kehilangan kendali, sering berperilaku kasar,  kaki telanjang, cara berpakaiandan situasi asrama sama seperti kampung asalnya.
Ketiga, Biaya Mahal Pelayanan Minim
Management Surya Institut tidak transparan dalam penetapan biaya  per item program serta tidak akuntabel dalam pelaporan keuangan. Beberapa Pemda di Papua mengalami kesulitan mendapatkan laporan keuangan dari pihak management Surya Institute. Dan karena itu, telah disoroti oleh BPK Propinsi Papua mengenai besarnya biaya pendidikan di Surya Institute.
Indikasi penyimpangan nyata dalam tagihan flate setiap bulan serta ketidaksesuaian antara besaran biaya dan pelayanan.Untuk Program SIP, Perhitungannya: Setiap bulan siswa wajib membayar RP. 15.000.000. Dalam setahun : 12 X 15.000.000 = Rp. 180.000.000 dengan jumlah 332 siswa = Rp. 59.760.000.000. Bagaimana dengan perhitungan sejak dimulainya program 2010 hingga pertengahan 2013?
Bagaimana dengan biaya program lainnya seperti Pelatihan Guru Papua, Matrikulasi anak SMU, STKIP dan program lainnya? Dengan jumlah keuangan tersebut maka sudah dapat membangun sekolah unggulan di beberapa wilayah Papua.
Beberapa item biaya yang kami soroti antara lain:

(1)     Akomodasi: Setiap Kamar dengan ukuran kecil memiliki 4 tempat tidur. Setiap anak membayar Rp3.000.000 perbulan. Berarti setiap kamar dalam sebulan Rp12.000.000. Jadi dalam setahun biaya kamar dengan ukuran kecil Rp144.000.000. Biaya tersebut sudah bisa membiayai sewa rumah/kontrak sejumlah 2-3 unit rumah/pertahun. Bahkan jika membanding sewa kost di Ruko sekitar Surya Inst. Kisaran harga Rp1.000.000 1.500.000 perbulan. Sarana rekreasi dan kegiatan lainnya belum tersedia, kecuali tempat olah raga di lapangan terbuka.

(2)     Konsumsi: Rp. 3.000.000 /bulan/anak tidak sebanding dengan biaya makan minum mahasiswa STKIP Rp. 1.500.000/bulan/anak. Mahasiswa STKIP dan siswa program SIP makanan dari katering yang sama dan sering ada keluhan makanan kedaluarsa, bahkan sewaktu libur (natal) makanan tidak diatur akibatnya anak-anak kelaparan.

 (3)  Transportasi: Setiap bulan dikenakan biaya Rp. 600.000/peranak. Realitanya anak-anak SD yang relatif banyak hanya jalan kaki 100 meter, kecuali SMP/SMU yang relatif  menggunakan dengan jarak dekat.

Kebutuhan harian siswa Rp. 400.000/peranak/bulan (bukan uang saku terima langsung) diserahkan secara acak ke siswa (belum ada laporan realisasi ke siswa), informasi yang diperoleh siswa setiap bulan menerima Rp. 120.000,- sementara anak-anak sering terlihat tidak menggunakan sendal, pakaian tidak rapi, dsb.

 (4)  Honor Pengajar Rp. 3.000.000,- dan Pendamping Rp. 1.750.000 dibebankan kepada setiap siswa perbulan.

(5)    Eksperimen dan pembinaan lomba: Rp. 650.000,- Tidak semua murid diikutsertakan dalam pembinaan lomba (olimpiade), dari 73 Siswa hanya 4 siswa yang ikut dalam pembinaan lomba (olimpiade). Jadi tidak masuk akal membuat perhitungan keseluruhan anak. Untuk lomba olimpiade, ada kekecewaan tersendiri yang dialami oleh Pemda Merauke dimana ke 2 anak yang mestinya ada peluang ke Korea tapi pihak sekolah kurang antisipatif dan kurang respons.

(6)    Kesehatan siswa: Sejak tahun 2011-2012 Surya institut memberikan beban biaya Rp. 400.000,- /anak/bulan. Dalam realisasinya tidak setiap  anak sakit apalagi sakit bersamaan setiap bulan. Itu berarti setiap anak menginvestasi dana kesehatan. Sebagai catatan bahwa: anak dari Mereauke jika sakit (berat) akan dirujuk ke RS Cikini dan menjadi biaya Pemda Merauke.
 
Item biaya lain, belum dapat dipastikan penggunaannya. Yang jelas, jika Dinas Pendidikan dan Pengajaran kabupaten tidak mengkritisi pelaporan keuangan management Surya Institute maka tidak akan diketahui kemana uang tersebut dipakai. Pada intinya management Surya Institut belum dapat menerapkan tata lembaga pendidikan yang baik dan bersih, serta tidak dapat bertanggungjawap dan mempertanggungjawabkan serta belum dapat membangun kepercayaan bagi masyarakat Papua.
Menanggapi persoalan tersebut di atas, beberapa Pemda Papua mulai melakukan tindakan penyelamatan anak-anak Papua serta menyelamatkan uang rakyat Papua dengan mengambil langkah:
Pertama, menarik atau memindahkan seluruh murid-murid (SIP) ke sekolah lainnya sebelum memasuki tahun ajaran baru.
Kedua, merasionalisasi pembayaran dengan membuat perhitungan kembali antara biaya keluaran dan pelayanan yang tidak sesuai dengan Perjanjian Kerjasama. Contoh kasus: Pada tahun 2011 Pemda Merauke telah melakukan pembayaran lebih untuk program Matrikulasi SMA, mustinya yang direkrut adalah siswa kelas 2 untuk program 2 tahun, realitanya yang direkrut kelas 3 yang programnya hanya beberapa bulan. Pemda Merauke telah melakukan pembayaran lebih 1.800.000.000,- Pembayaran lebih tersebut tidak dilaporkan oleh pihak manajemen Surya Institut. Hal ini menjadi temuan untuk dipertanggungjawabkan.
Ketiga, mengabaikan atau menundah pembayaran sebelum adanya laporan keuangan dari Management Surya Institute hal ini sesuai dengan tuntutan BPK Propinsi Papua agar tanda bukti transaksi pembayaran dan realisasinya harus dipertanggungjawabkan.
Keempat, membatalkan dan menghentikan program lanjutan, meski Perjanjian Kerjasama belum berakhir. Jika perlu mengambil langkah hukum agar permasalahan menjadi jelas.
Kelima, mempertanyakan dan menuntut kepada Surya Institut program yang tidak terlaksana seperti yang dialami kabupaten Lani Jaya.
Keenam, BPK Propinsi Papua dan Papua Barat segera mengambil langkah untuk melakukan pemeriksaan keuangan di Surya Institute menyangkut uang rakyat Papua.
Ketujuh, Pemda Papua dan Papua Barat mengambil langkah mendirikan sekolah unggulan berpola atau Pendidikan Sekolah berbasis asrama di beberapa wilayah strategis. Adalah lebih baik membangun sekolah unggulan yang menjawab kebutuhan di Tanah Papua.
Jus Felix Mewengkang  adalah  Pemerhati Pendidikan Papua, tinggal di Papua.
Share this post :

Posting Komentar

 
Support : Admin | Admin | Admin
Copyright © 2011. FORUM MASYARAKAT ADAT DUMA DAMA (FMADD) [Moni-Mee Selatan] - All Rights Reserved
Template Created by Admin Published by Yatipai Tebas
Proudly powered by Blogger