Ass.wr.wbr Salam ! | Members area : Register | Sign in
About Me | Contact Us | Sitemap | Pasang Iklan
BERITA TERBARU:
SELAMAT DATANG DI BLOG FORUM MASYARAKAT ADAT DUMA DAMA JEWA BOMA [Moni-Mee Selatatan]
Home » » LIMA SUKU PEGUNUNGAN TENGAH PAPUA (DAMAL, DANI, MONI NDUGA DAN MEE)

LIMA SUKU PEGUNUNGAN TENGAH PAPUA (DAMAL, DANI, MONI NDUGA DAN MEE)

Written By Unknown on Sabtu, 09 November 2013 | 17.42


Lima suku pegunungan tengah Papua yaitu Damal, Dani, Moni, Nduga dan Mee mendiami kabupaten Puncak Jaya, Jayawijaya dan Paniai. Topografi daerah ini adalah pegunungan yang memiliki ketinggian 500 sampai 4.500 meter di atas permukaan laut. Daerah yang berpenghuni hanya pada ketinggian 2.500 meter di atas permukaan laut. Lebih tinggi lagi hanya hawa dingin, flora, dan fauna pegunungan tinggi yang menyelimuti sampai puncak, sedang sebagian kecil wilayahnya berada di hilir sungai Memberamo. Suku-suku ini memiliki karekter, kepemimpinan dan budaya yang hampir sama termasuk dialek bahasa. (update)
SUKU DAMAL
Damalme atau orang Damal dilaporkan pertama kali oleh para penyelidik kontroler Belanda yaitu J.V. de Bruyn, R. den Haan dan J.R. Meyer Ranneft, serta Romo M. Kammerer. Para penyelidik waktu itu mendekati orang Damal dari arah utara, kawasan danau-danau Wisselmeren. Sebelumnya orang Damal pernah dikunjungi dari arah selatan oleh ekspedisi Carstensz dari Inggris di bawah pimpinan Wollaston dan pada 1936 oleh ekspedisi Carstensz yang dipimpin Dr. Colijn cs.
Dr.Colijn menyebut orang Damal dengan nama Enggipiloedal artinya putra-putra Enggipiloe yaitu nama yang juga diberikan oleh suku Moni kepada kawasan Carstensz. Dengan demikian Enggipiloedal berarti putra-putra kawasan Carstensz. Sebutan ini hanya meliputi sebagian dari orang Damal yang hidup di lembah-lembah kawasan Carstensz seperti lembah Singgal (Otakwa), lembah Wa (Koprapoka), lembah Weja (Ajkimuka) di sebelah selatan Carstensz, dan lembah Beoga (Beura atau Beurop) di sebelah utara Carstensz. Penduduk lembah tersebut sangat erat kaitannya dengan salju abadi di atas puncak pegunungan Carstensz dalam legenda penciptaan manusia pertama.
Suku Moni menyebut orang Damal juga dengan nama Ungunduni yang dalam bahasa Moni artinya “di dalam pagar” yang tidak berarti suku Damal selalu memagari rumahnya karena hal itu praktis tak pernah dijumpai. Kemungkinan yang dimaksud adalah kebiasaan orang Damal memberi sesajen kepada leluhurnya di suatu tempat yang dibatasi pagar.
Ada juga cerita yang menghubungkan orang Damal dengan era penciptaan manusia pertama, yang pada waktu itu menurut legenda manusia pertama berkumpul di atas sebuah gunung yang tinggi dan dingin dimana mereka duduk bersama mengelilingi api yang dibuatkannya. Jadi, orang Damal dahulu kala mungkin pernah duduk dekat api di tempat yang dibatasi pagar.
Tetapi nama yang mereka berikan kepada dirinya adalah Damalme, me artinya manusia dan nama bahasanya adalah bahasa Damal (Damal-kal). Mereka tinggal di lembah-lembah yang terletak ke utara dan ke selatan pegunungan Carstensz dimana kebanyakan dari semua lembah berada. Di sebelah utara Carstensz mereka tinggal di Beura (Beoga atau Beurop) dan Iliga, yang juga dikenal sebagai lembah Illop atau Illa. Disini mereka hidup berbatasan dengan suku Dani. Di daerah barat laut Beura terdapat lembah Doegindora dimana suku Damalme mempunyai daerah kantong kecil.
Pada kawasan selatan Carstensz orang Damal hidup tersebar di delapan lembah yang terbentang mulai dari bagian hulu sungai Ajkwa di barat hingga bagian hulu sungai Djots di sebelah timur. Pada sisi pegunungan tengah orang Damal hidup berbatasan dengan suku Moni, dibagian barat dan timur berbatasan dengan suku Taume sedangkan bagian selatan berbatasan dengan penduduk pantai, yaitu suku Mimika/Kamoro.
Mata pencahariannya adalah berburu dan bertani, seperti suku-suku lain di pegunungan, orang Damal adalah petani dan pengumpul buah-buah yang tumbuh di hutan serta beternak babi. Daging babi disembelih pada hari-hari tertentu seperti upacara melahirkan dan kematian, perkawinan, panenan, penyelesaian hutang perang dan upacara persembahan kepada leluhur.
Wilayah ini pada tahun 2000 statusnya berkembang menjadi daerah otonom yang sulit dicapai lewat darat, yang bergunung tinggi dan berlembah curam bergantung pada sarana transportasi udara. Kabupaten ini sebagian besar dihubungkan oleh angkutan udara dari Sentani-Jayapura, Nabire, Wamena dan Timika. Penerbangan komersial yang melayani ialah Merpati Nusantara, Trigana Air Service dan Mimika Air serta pesawat milik gereja, Mission Aviation Fellowship (MAF).
SUKU MEE dan MONI
SEKITAR akhir tahun 30-an Belanda mencapai Kabupaten Paniai, ini menjadi babak baru pertemuan antara masyarakat asli-suku Mee di bagian barat dan suku Moni di bagian timur dengan orang luar. Melalui ekspedisi di bawah pimpinan Pastor H. Tillemans pemerintah Belanda mendirikan pos misi atau disebut juga pos pemerintahan di Enarotali.
ENAROTALI atau biasa disebut Enaro di Kecamatan Paniai Timur hingga kini masih menjadi pusat pemerintahan meski mengalami perbedaan luas dan status wilayah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 1996 Kabupaten Paniai dimekarkan menjadi Kabupaten Administratif Paniai dan Puncak Jaya. Sementara itu, Kabupaten Paniai lama berganti nama menjadi Nabire. Tiga tahun kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 status Paniai ditingkatkan dari kabupaten administratif menjadi kabupaten devinif/otonom.
Sudah tujuh tahun pemekaran terjadi, namun tujuan memperpendek rentang pemerintahan dan mempercepat pembangunan masih terkendala pada letak geografis. Berada di ketinggian mecapai 2.000 meter dengan topografi bergunung dan berlembah menjadikan Paniai terisolasi.
Kecamatan Sugapa, Homeyo, Agisiga, dan Biandoga tidak dapat dijangkau melalui darat, satu-satunya transportasi adalah pesawat terbang, jika tidak ingin berjalan kaki seharian.
Paniai memiliki 15 lapangan terbang, 11 di antaranya milik swasta dengan bandar udara utama di Enaro. Trigana, Merpati, AMA, dan MAF adalah maskapai penerbangan yang beroperasi di wilayah ini.
Ubi jalar yang dalam bahasa Mee disebut “Nota” menjadi makanan utama penduduk di perkampungan merupakan produksi tanaman pangan terbesar yang mana pada tahun 2002 mencapai puncak produksi tertinggi dibanding dua tahun sebelumnya. Ubi jalar “Nota” lazim dimasak dengan cara yang sangat khas, yaitu bakar batu atau dikenal dengan istilah barapen. Tehnik memasak ini lazim digunakan oleh masyarakat pegunungan tengah Papua.
Batu yang membara sehabis dibakar, digunakan untuk mematangkan “Nota” yang ditutup daun. Hingga kini belum ada industri kecil atau industri rumah tangga yang mengolah nota menjadi kripik, dodol tepung, atau dikemas dalam bentuk lain yang tahan lama.
Dalam kondisi normal kebutuhan nota dipenuhi dari hasil panen lokal, jika terjadi banjir atau kekeringan. Pada saat banjir, pohon-pohon tergenang air dan akhirnya membusuk. Sebaliknya, di kala kering pohon-pohon mati kekurangan air. Yang terjadi kemudian adalah kekurangan pangan.
Daerah bersuhu rendah dan berkelembaban tinggi seperti Paniai, tak banyak tanaman pangan yang bisa tumbuh seperti padi atau kelapa. Pertanian masih dilakukan dengan pola tanam yang sangat sederhana, meski lahan pertanian sudah menetap. Bukan cangkul apalagi traktor yang digunakan, melainkan kayu yang menjadi andalan pengolahan lahan pertanian. Kayu dianggap lebih cepat menghancurkan tanah. Di sini peran wanita petani sangat besar karena setelah petani pria membuka lahan, urusan bercocok tanam selanjutnya sepenuhnya tanggung jawab petani wanita.
Pengangkutan barang dan komunikasi dari dan ke Paniai selama ini melalui Kabupaten Nabire dengan  moto Paniai "aweta ko enaa agapida me", artinya hari esok lebih baik dari hari ini, setidaknya menunjukkan semangat untuk mencapai kemakmuran dan kemajuan di masa mendatang.*
SUKU NDUGA
Diantara barisan gunung-gunung batu dengan lereng-lereng yang terjal dan lembah-lembah kecil disekitarnya adalah wilayah pemukiman penduduk pedalaman pegunungan tengah.
Jumlah penduduk diwilayah ini tergolong sangat padat, dibandingkan jumlah penduduk wilayah lainnya di Papua. Terdapat kelompok masyarakat yang menamakan dirinya orang Nduga, mereka bermukim secara terpisah-pisah di balik selatan lereng pegunungan Jayawijaya.
Nduga berasal dari kata Ndawa berarti orang yang hidup dari hasil buruan diantara lubang-lubang batu dibalik selatan pegunungan Jayawijaya. Mereka sendiri tidak suka dengan istilah itu karena dianggap suatu penghinaan.
Mereka menyebut dirinya sesuai nama lokasi dimana mereka bermukim akan tetapi nama itu kemudian terjadi perubahan intonasi sehingga menjadi Nduga. Bahasa mereka tergolong dalam bahasa non-Austronesia, ada empat dialek tersebar pada beberapa wilayah yaitu Hiburzt, Tundu,Tumbut dan Suburu. Bahasa pengantar diwilayah ini umumnya menggunakan bahasa lokal.
Mapendum, jigi merupakan wilayah bermukim suku Nduga, pada umumya penduduk ini seperti suku-suku terasing lainnya di Papua belum mengenal pemerintahan, lambang negara, bendera dan lain-lainnya. Mereka pun belum mengenal nama-nama pejabat negara termasuk pemerintahan Negara Republik Indonesia sendiri.
Para misionais lebih dikenal karena melakukan misi penginjilan kepada warga pedalaman sejak pra-kemerdekaan Indonesia Tak aneh bila mereka lebih mengenal Pendeta Andrean van Dor Nijl, misionaris yang sudah 54 tahun bertugas di sana disbanding pejabat pemerintah.
Begitu akrabnya pendeta itu dengan suku Nduga, maka warga kerap menganggap ia adalah camat, Makanan utama adalah hipere (sejenis ubi-ubian yang dibakar), nasi merupakan makanan langka, tanaman padi belum dikenal. Pertanian mereka masih mengandalkan hujan dan kadang-kadang mereka makan nasi yang diterima dari para misionaris.*
SUKU DANI
Perkampungan suku Dani pertama kali diketahui berada di Lembah Baliem sekitar ratusan tahun lalu. Banyak explorasi di dataran tinggi pedalaman Papua yang dilakukan, salah satunya adalah ekspedisi Lorentz tahun 1909-1910 oleh pemerintah Belanda, tetapi ekspedisi ini tidak beroperasi di Lembah Baliem.
Kemudian penyelidik asal Amerika Richard Archold sekitar 1935 pertama kali mengadakan kontak dengan suku Dani, kemudian diketahui juga bahwa suku adalah petani yang terampil dan telah menggunakan kapak batu, alat pengikis, pisau yang terbuat dari tulang binatang, bambu atau tombak kayu dan tongkat galian.
Pengaruh Eropa yang dibawa para Missionaris telah membangun pusat misi Protestan di Hetegima Wamena sekitar 1955, setelah Belanda mendirikan kota Wamena maka agama Katholik mulai masuk didaerah ini.
Kondisi geografis seperti umumnya daerah pegunungan tengah Papua, terdiri dari gunung-gunung tinggi dan lembah-lembah luas. Antara puncak-puncak gunung beberapa diantaranya selalu tertutup salju seperti pucak Trikora 4750 m, Puncak Yamin 4595 m dan Puncak Mandala 4760 m. Tanah umumnya terdiri dari batu kapur/gamping dan granit sedangkan disekeliling lembah merupakan campuran antara endapan lumpur, tanah liat dan lempung.
Daerah ini beriklim tropis basah karena dipengaruhi oleh letak ketinggian dari permukaan laut, temperatur udara bervariasi antara 80-200Celcius, suhu rata-rata 17,50 Celcius dengan hari hujan 152,42 hari pertahun, tingkat kelembaban diatas 80 %, angin berhembus sepanjang tahun dengan kecepatan rata-rata tertinggi 14 knot dan terendah 2,5 knot.
Di daerah ini banyak margasatwa yang aneh dan menarik hidup di tengah-tengah pepohonan tropis yang luas dan beraneka ragam pada gunung-gunung yang lebih tinggi. Hutan tropis memberi kesempatan bagi tumbuh-tumbuhan dan hutan cemara, semak rhodedendronds dan species tanaman pakis dan anggrek yang sangat mengagumkan.
Dekat daerah bersalju di puncak-puncak gunung terdapat lumut dan tanaman tundra, hutan-hutan juga beraneka ragam jenis kayu yang sangat penting bagi perdagangan seperti intisia, pometis, callophylyum, drokontomiko, pterokorpus dan jajaran pohon berlumut yang jika diexploitasi dan diproses dapat menghasilkan harga yang sangat tinggi dunia perdagangan.
Hutan-hutan dan padang-padang rumput merupakan tempat hidup kanguru, kuskus, kasuari dan banyak species dari burung endemik seperti cenderawasih, mambruk, nuri bermacam-macam insect dan kupu-kupu yang beraneka ragam warna dan coraknya.
Suku Dani masih banyak mengenakan “koteka” (penutup penis) yang terbuat dari kunden kuning dan para wanita menggunakan pakaian wah berasal dari rumput/serat dan tinggal di “honai-honai” (gubuk yang beratapkan jerami/ilalang). Upacara-upacara besar dan keagamaan, perang suku masih dilaksanakan (walaupun tidak sebesar sebelumnya).
Walaupun telah menerima agama Kristen, banyak diantara upacara-upacara mereka masih bercorak budaya lama yang diturunkan oleh nenek moyang mereka. Suku Dani percaya terhadap rekwasi. Seluruh upacara keagamaan diiringi dengan nyanyian, tarian dan persembahan terhadap nenek moyang. Peperangan dan permusuhan biasanya terjadi karena masalah pelintasan daerah perbatasan, wanita dan pencurian.
Para prajurit memberi tanda juga terhadap mereka sendiri dengan babi lemak, kerang, bulu-bulu, kus-kus, sagu rekat, getah dari pohon mangga dan bunga-bungaan, mempersenjatai diri sendiri dengan; tombak, busur dan anak panah. Di dalam masyarakat Suku Dani jika salah seorang menjadi manusia buangan karena melanggar tabu, ia biasanya dihina/ diejek oleh warga yang lain pada pertemuan adat, ia harus membayar denda. Sambil mereka bekerja di ladang atau pergi berburu mereka bernyanyi expresi heroic atau kisah yang menyedihkan.
Alunan suara dari lagu itu mendorong mereka dalam bekerja, alat-lat musik yang mengiringi lagu disebut “Pikon”. Sepanjang perjalanan berburu. “Pikon” diselipkan kedalam lubang yang besar dikuping telinga mereka. Dengan Pikon tanda isyarat dapat dikirim dengan berbagai suara yang berbeda selama berburu untuk memberi isyarat kepada teman atau lawan di dalam hutan.
Suku Dani sebagian besar memeluk agama Kristen dan lainnya agama Islam, tetapi beberapa penduduk yang berada di tempat yang lebih terpencil di daerah bukit-bukit masih berpegang teguh kepada kepercayaan yang ditinggalkan oleh nenek moyangnya.....Sumbernya...lpmak..
Share this post :

Posting Komentar

 
Support : Admin | Admin | Admin
Copyright © 2011. FORUM MASYARAKAT ADAT DUMA DAMA (FMADD) [Moni-Mee Selatan] - All Rights Reserved
Template Created by Admin Published by Yatipai Tebas
Proudly powered by Blogger