Lima suku pegunungan tengah Papua yaitu
Damal, Dani, Moni, Nduga dan Mee mendiami kabupaten Puncak Jaya,
Jayawijaya dan Paniai. Topografi daerah ini adalah pegunungan yang
memiliki ketinggian 500 sampai 4.500 meter di atas permukaan laut.
Daerah yang berpenghuni hanya pada ketinggian 2.500 meter di atas
permukaan laut. Lebih tinggi lagi hanya hawa dingin, flora, dan fauna
pegunungan tinggi yang menyelimuti sampai puncak, sedang sebagian kecil
wilayahnya berada di hilir sungai Memberamo. Suku-suku ini memiliki
karekter, kepemimpinan dan budaya yang hampir sama termasuk dialek
bahasa. (update)
SUKU DAMAL
Damalme atau orang Damal dilaporkan pertama kali oleh para penyelidik
kontroler Belanda yaitu J.V. de Bruyn, R. den Haan dan J.R. Meyer
Ranneft, serta Romo M. Kammerer. Para penyelidik waktu itu mendekati
orang Damal dari arah utara, kawasan danau-danau Wisselmeren. Sebelumnya
orang Damal pernah dikunjungi dari arah selatan oleh ekspedisi
Carstensz dari Inggris di bawah pimpinan Wollaston dan pada 1936 oleh
ekspedisi Carstensz yang dipimpin Dr. Colijn cs.
Dr.Colijn menyebut orang Damal dengan nama Enggipiloedal artinya
putra-putra Enggipiloe yaitu nama yang juga diberikan oleh suku Moni
kepada kawasan Carstensz. Dengan demikian Enggipiloedal berarti
putra-putra kawasan Carstensz. Sebutan ini hanya meliputi sebagian dari
orang Damal yang hidup di lembah-lembah kawasan Carstensz seperti lembah
Singgal (Otakwa), lembah Wa (Koprapoka), lembah Weja (Ajkimuka) di
sebelah selatan Carstensz, dan lembah Beoga (Beura atau Beurop) di
sebelah utara Carstensz. Penduduk lembah tersebut sangat erat kaitannya
dengan salju abadi di atas puncak pegunungan Carstensz dalam legenda
penciptaan manusia pertama.
Suku Moni menyebut orang Damal juga dengan nama Ungunduni yang dalam
bahasa Moni artinya “di dalam pagar” yang tidak berarti suku Damal
selalu memagari rumahnya karena hal itu praktis tak pernah dijumpai.
Kemungkinan yang dimaksud adalah kebiasaan orang Damal memberi sesajen
kepada leluhurnya di suatu tempat yang dibatasi pagar.
Ada juga cerita yang menghubungkan orang Damal dengan era penciptaan
manusia pertama, yang pada waktu itu menurut legenda manusia pertama
berkumpul di atas sebuah gunung yang tinggi dan dingin dimana mereka
duduk bersama mengelilingi api yang dibuatkannya. Jadi, orang Damal
dahulu kala mungkin pernah duduk dekat api di tempat yang dibatasi
pagar.
Tetapi nama yang mereka berikan kepada dirinya adalah Damalme, me
artinya manusia dan nama bahasanya adalah bahasa Damal (Damal-kal).
Mereka tinggal di lembah-lembah yang terletak ke utara dan ke selatan
pegunungan Carstensz dimana kebanyakan dari semua lembah berada. Di
sebelah utara Carstensz mereka tinggal di Beura (Beoga atau Beurop) dan
Iliga, yang juga dikenal sebagai lembah Illop atau Illa. Disini mereka
hidup berbatasan dengan suku Dani. Di daerah barat laut Beura terdapat
lembah Doegindora dimana suku Damalme mempunyai daerah kantong kecil.
Pada kawasan selatan Carstensz orang Damal hidup tersebar di delapan
lembah yang terbentang mulai dari bagian hulu sungai Ajkwa di barat
hingga bagian hulu sungai Djots di sebelah timur. Pada sisi pegunungan
tengah orang Damal hidup berbatasan dengan suku Moni, dibagian barat dan
timur berbatasan dengan suku Taume sedangkan bagian selatan berbatasan
dengan penduduk pantai, yaitu suku Mimika/Kamoro.
Mata pencahariannya adalah berburu dan bertani, seperti suku-suku
lain di pegunungan, orang Damal adalah petani dan pengumpul buah-buah
yang tumbuh di hutan serta beternak babi. Daging babi disembelih pada
hari-hari tertentu seperti upacara melahirkan dan kematian, perkawinan,
panenan, penyelesaian hutang perang dan upacara persembahan kepada
leluhur.
Wilayah ini pada tahun 2000 statusnya berkembang menjadi daerah otonom yang sulit dicapai lewat darat, yang bergunung tinggi dan berlembah curam bergantung pada sarana transportasi udara. Kabupaten ini sebagian besar dihubungkan oleh angkutan udara dari Sentani-Jayapura, Nabire, Wamena dan Timika. Penerbangan komersial yang melayani ialah Merpati Nusantara, Trigana Air Service dan Mimika Air serta pesawat milik gereja, Mission Aviation Fellowship (MAF).
Wilayah ini pada tahun 2000 statusnya berkembang menjadi daerah otonom yang sulit dicapai lewat darat, yang bergunung tinggi dan berlembah curam bergantung pada sarana transportasi udara. Kabupaten ini sebagian besar dihubungkan oleh angkutan udara dari Sentani-Jayapura, Nabire, Wamena dan Timika. Penerbangan komersial yang melayani ialah Merpati Nusantara, Trigana Air Service dan Mimika Air serta pesawat milik gereja, Mission Aviation Fellowship (MAF).
SUKU MEE dan MONI
SEKITAR akhir tahun 30-an Belanda mencapai Kabupaten Paniai, ini
menjadi babak baru pertemuan antara masyarakat asli-suku Mee di bagian
barat dan suku Moni di bagian timur dengan orang luar. Melalui ekspedisi
di bawah pimpinan Pastor H. Tillemans pemerintah Belanda mendirikan pos
misi atau disebut juga pos pemerintahan di Enarotali.
ENAROTALI atau biasa disebut Enaro di Kecamatan Paniai Timur hingga
kini masih menjadi pusat pemerintahan meski mengalami perbedaan luas dan
status wilayah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 1996
Kabupaten Paniai dimekarkan menjadi Kabupaten Administratif Paniai dan
Puncak Jaya. Sementara itu, Kabupaten Paniai lama berganti nama menjadi
Nabire. Tiga tahun kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun
1999 status Paniai ditingkatkan dari kabupaten administratif menjadi
kabupaten devinif/otonom.
Sudah tujuh tahun pemekaran terjadi, namun tujuan memperpendek
rentang pemerintahan dan mempercepat pembangunan masih terkendala pada
letak geografis. Berada di ketinggian mecapai 2.000 meter dengan
topografi bergunung dan berlembah menjadikan Paniai terisolasi.
Kecamatan Sugapa, Homeyo, Agisiga, dan Biandoga tidak dapat dijangkau
melalui darat, satu-satunya transportasi adalah pesawat terbang, jika
tidak ingin berjalan kaki seharian.
Paniai memiliki 15 lapangan terbang, 11 di antaranya milik swasta
dengan bandar udara utama di Enaro. Trigana, Merpati, AMA, dan MAF
adalah maskapai penerbangan yang beroperasi di wilayah ini.
Ubi jalar yang dalam bahasa Mee disebut “Nota” menjadi makanan utama
penduduk di perkampungan merupakan produksi tanaman pangan terbesar yang
mana pada tahun 2002 mencapai puncak produksi tertinggi dibanding dua
tahun sebelumnya. Ubi jalar “Nota” lazim dimasak dengan cara yang sangat
khas, yaitu bakar batu atau dikenal dengan istilah barapen. Tehnik
memasak ini lazim digunakan oleh masyarakat pegunungan tengah Papua.
Batu yang membara sehabis dibakar, digunakan untuk mematangkan “Nota”
yang ditutup daun. Hingga kini belum ada industri kecil atau industri
rumah tangga yang mengolah nota menjadi kripik, dodol tepung, atau
dikemas dalam bentuk lain yang tahan lama.
Dalam kondisi normal kebutuhan nota dipenuhi dari hasil panen lokal, jika terjadi banjir atau kekeringan. Pada saat banjir, pohon-pohon tergenang air dan akhirnya membusuk. Sebaliknya, di kala kering pohon-pohon mati kekurangan air. Yang terjadi kemudian adalah kekurangan pangan.
Dalam kondisi normal kebutuhan nota dipenuhi dari hasil panen lokal, jika terjadi banjir atau kekeringan. Pada saat banjir, pohon-pohon tergenang air dan akhirnya membusuk. Sebaliknya, di kala kering pohon-pohon mati kekurangan air. Yang terjadi kemudian adalah kekurangan pangan.
Daerah bersuhu rendah dan berkelembaban tinggi seperti Paniai, tak
banyak tanaman pangan yang bisa tumbuh seperti padi atau kelapa.
Pertanian masih dilakukan dengan pola tanam yang sangat sederhana, meski
lahan pertanian sudah menetap. Bukan cangkul apalagi traktor yang
digunakan, melainkan kayu yang menjadi andalan pengolahan lahan
pertanian. Kayu dianggap lebih cepat menghancurkan tanah. Di sini peran
wanita petani sangat besar karena setelah petani pria membuka lahan,
urusan bercocok tanam selanjutnya sepenuhnya tanggung jawab petani
wanita.
Pengangkutan barang dan komunikasi dari dan ke Paniai selama ini
melalui Kabupaten Nabire dengan moto Paniai "aweta ko enaa agapida me",
artinya hari esok lebih baik dari hari ini, setidaknya menunjukkan
semangat untuk mencapai kemakmuran dan kemajuan di masa mendatang.*
SUKU NDUGA
Diantara barisan gunung-gunung batu dengan lereng-lereng yang terjal
dan lembah-lembah kecil disekitarnya adalah wilayah pemukiman penduduk
pedalaman pegunungan tengah.
Jumlah penduduk diwilayah ini tergolong sangat padat, dibandingkan
jumlah penduduk wilayah lainnya di Papua. Terdapat kelompok masyarakat
yang menamakan dirinya orang Nduga, mereka bermukim secara
terpisah-pisah di balik selatan lereng pegunungan Jayawijaya.
Nduga berasal dari kata Ndawa berarti orang yang hidup dari hasil
buruan diantara lubang-lubang batu dibalik selatan pegunungan
Jayawijaya. Mereka sendiri tidak suka dengan istilah itu karena dianggap
suatu penghinaan.
Mereka menyebut dirinya sesuai nama lokasi dimana mereka bermukim
akan tetapi nama itu kemudian terjadi perubahan intonasi sehingga
menjadi Nduga. Bahasa mereka tergolong dalam bahasa non-Austronesia, ada
empat dialek tersebar pada beberapa wilayah yaitu Hiburzt, Tundu,Tumbut
dan Suburu. Bahasa pengantar diwilayah ini umumnya menggunakan bahasa
lokal.
Mapendum, jigi merupakan wilayah bermukim suku Nduga, pada umumya
penduduk ini seperti suku-suku terasing lainnya di Papua belum mengenal
pemerintahan, lambang negara, bendera dan lain-lainnya. Mereka pun belum
mengenal nama-nama pejabat negara termasuk pemerintahan Negara Republik
Indonesia sendiri.
Para misionais lebih dikenal karena melakukan misi penginjilan kepada
warga pedalaman sejak pra-kemerdekaan Indonesia Tak aneh bila mereka
lebih mengenal Pendeta Andrean van Dor Nijl, misionaris yang sudah 54
tahun bertugas di sana disbanding pejabat pemerintah.
Begitu akrabnya pendeta itu dengan suku Nduga, maka warga kerap
menganggap ia adalah camat, Makanan utama adalah hipere (sejenis
ubi-ubian yang dibakar), nasi merupakan makanan langka, tanaman padi
belum dikenal. Pertanian mereka masih mengandalkan hujan dan
kadang-kadang mereka makan nasi yang diterima dari para misionaris.*
SUKU DANI
Perkampungan suku Dani pertama kali diketahui berada di Lembah Baliem
sekitar ratusan tahun lalu. Banyak explorasi di dataran tinggi
pedalaman Papua yang dilakukan, salah satunya adalah ekspedisi Lorentz
tahun 1909-1910 oleh pemerintah Belanda, tetapi ekspedisi ini tidak
beroperasi di Lembah Baliem.
Kemudian penyelidik asal Amerika Richard Archold sekitar 1935 pertama
kali mengadakan kontak dengan suku Dani, kemudian diketahui juga bahwa
suku adalah petani yang terampil dan telah menggunakan kapak batu, alat
pengikis, pisau yang terbuat dari tulang binatang, bambu atau tombak
kayu dan tongkat galian.
Pengaruh Eropa yang dibawa para Missionaris telah membangun pusat
misi Protestan di Hetegima Wamena sekitar 1955, setelah Belanda
mendirikan kota Wamena maka agama Katholik mulai masuk didaerah ini.
Kondisi geografis seperti umumnya daerah pegunungan tengah Papua,
terdiri dari gunung-gunung tinggi dan lembah-lembah luas. Antara
puncak-puncak gunung beberapa diantaranya selalu tertutup salju seperti
pucak Trikora 4750 m, Puncak Yamin 4595 m dan Puncak Mandala 4760 m.
Tanah umumnya terdiri dari batu kapur/gamping dan granit sedangkan
disekeliling lembah merupakan campuran antara endapan lumpur, tanah liat
dan lempung.
Daerah ini beriklim tropis basah karena dipengaruhi oleh letak
ketinggian dari permukaan laut, temperatur udara bervariasi antara
80-200Celcius, suhu rata-rata 17,50 Celcius dengan hari hujan 152,42
hari pertahun, tingkat kelembaban diatas 80 %, angin berhembus sepanjang
tahun dengan kecepatan rata-rata tertinggi 14 knot dan terendah 2,5
knot.
Di daerah ini banyak margasatwa yang aneh dan menarik hidup di
tengah-tengah pepohonan tropis yang luas dan beraneka ragam pada
gunung-gunung yang lebih tinggi. Hutan tropis memberi kesempatan bagi
tumbuh-tumbuhan dan hutan cemara, semak rhodedendronds dan species
tanaman pakis dan anggrek yang sangat mengagumkan.
Dekat daerah bersalju di puncak-puncak gunung terdapat lumut dan
tanaman tundra, hutan-hutan juga beraneka ragam jenis kayu yang sangat
penting bagi perdagangan seperti intisia, pometis, callophylyum,
drokontomiko, pterokorpus dan jajaran pohon berlumut yang jika
diexploitasi dan diproses dapat menghasilkan harga yang sangat tinggi
dunia perdagangan.
Hutan-hutan dan padang-padang rumput merupakan tempat hidup kanguru,
kuskus, kasuari dan banyak species dari burung endemik seperti
cenderawasih, mambruk, nuri bermacam-macam insect dan kupu-kupu yang
beraneka ragam warna dan coraknya.
Suku Dani masih banyak mengenakan “koteka” (penutup penis) yang terbuat dari kunden kuning dan para wanita menggunakan pakaian wah berasal dari rumput/serat dan tinggal di “honai-honai” (gubuk yang beratapkan jerami/ilalang). Upacara-upacara besar dan keagamaan, perang suku masih dilaksanakan (walaupun tidak sebesar sebelumnya).
Suku Dani masih banyak mengenakan “koteka” (penutup penis) yang terbuat dari kunden kuning dan para wanita menggunakan pakaian wah berasal dari rumput/serat dan tinggal di “honai-honai” (gubuk yang beratapkan jerami/ilalang). Upacara-upacara besar dan keagamaan, perang suku masih dilaksanakan (walaupun tidak sebesar sebelumnya).
Walaupun telah menerima agama Kristen, banyak diantara
upacara-upacara mereka masih bercorak budaya lama yang diturunkan oleh
nenek moyang mereka. Suku Dani percaya terhadap rekwasi. Seluruh upacara
keagamaan diiringi dengan nyanyian, tarian dan persembahan terhadap
nenek moyang. Peperangan dan permusuhan biasanya terjadi karena masalah
pelintasan daerah perbatasan, wanita dan pencurian.
Para prajurit memberi tanda juga terhadap mereka sendiri dengan babi
lemak, kerang, bulu-bulu, kus-kus, sagu rekat, getah dari pohon mangga
dan bunga-bungaan, mempersenjatai diri sendiri dengan; tombak, busur dan
anak panah. Di dalam masyarakat Suku Dani jika salah seorang menjadi
manusia buangan karena melanggar tabu, ia biasanya dihina/ diejek oleh
warga yang lain pada pertemuan adat, ia harus membayar denda. Sambil
mereka bekerja di ladang atau pergi berburu mereka bernyanyi expresi
heroic atau kisah yang menyedihkan.
Alunan suara dari lagu itu mendorong mereka dalam bekerja, alat-lat
musik yang mengiringi lagu disebut “Pikon”. Sepanjang perjalanan
berburu. “Pikon” diselipkan kedalam lubang yang besar dikuping telinga
mereka. Dengan Pikon tanda isyarat dapat dikirim dengan berbagai suara
yang berbeda selama berburu untuk memberi isyarat kepada teman atau
lawan di dalam hutan.
Suku Dani sebagian besar memeluk agama Kristen dan lainnya agama Islam, tetapi beberapa penduduk yang berada di tempat yang lebih terpencil di daerah bukit-bukit masih berpegang teguh kepada kepercayaan yang ditinggalkan oleh nenek moyangnya.....Sumbernya...lpmak..
Suku Dani sebagian besar memeluk agama Kristen dan lainnya agama Islam, tetapi beberapa penduduk yang berada di tempat yang lebih terpencil di daerah bukit-bukit masih berpegang teguh kepada kepercayaan yang ditinggalkan oleh nenek moyangnya.....Sumbernya...lpmak..
Posting Komentar